Selasa, 12 Juni 2012

Sherlock Holmes & Hercule Poirot


Di dunia novel detektif ada dua karakter terkenal yaitu Sherlock Holmes dan Hercule Poirot. Kedua karakter tersebut merupakan ciptaan pengarang Inggris yaitu Sir Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie.


Baik Mr. Holmes maupun Mr. Poirot keduanya sangat jenius (tentu saja pengarangnya lbh hebat dong). Mereka mampu menyelesaikan kasus-kasus yang tak terpecahkan. Ketika semua polisi atau detektif dari Scotland Yard angkat tangan maka mereka mampu mengungkapkan teka-teki modus kejahatan dengan brilian.


Ada beberapa kesamaan di antara keduanya, yang pertama mereka semua cemerlang sebagai detektif. Mereka berdua senang menghisap tembakau dari dengan pipa. Mereka tidak menikah atau menjalani hidup selibat (jangan2 ini nih yg bikin hebat ). Sama-sama memiliki teman setia, Sherlock Holmes dengan Dr. Watson sedang Hercule Poirot dengan Arthur Hasting. Dan keduanya beroperasi di Inggris.


Namun ada beberapa perbedaan di antara mereka berdua. Sherlock Holmes berperawakan normal sebagaimana rata-rata orang Inggris sedang Hercule Poirot berbadan pendek dengan kumis kebanggaannya yang panjang. Sherlock berasal dari Inggris sedang Hercule kelahiran Belgia.



Namun yang paling penting diamati ialah cara mereka berpikir atau metode yang dipilih dalam mengungkap suatu kasus. Ketika memecahkan teka-teki suatu kasus, Sherlock Holmes sangat aktif. Dia tidak puas hanya mengandalkan keterangan dari para saksi maupun korban. Dia harus ke lapangan mengumpulkan fakta dan data bagaimanapun caranya, biasanya dengan cara yang cerdas pula. Sering sekali Sherlock Holmes melakukan penyamaran yang canggih, bahkan dia tidak mengharamkan adu fisik. Dengan hasil kerja kerasnya, Mr. Holmes merekonstruksi peristiwa kriminal dengan tepat dan tak disangka-sangka oleh detektif manapun. Itulah sebabnya mengapa sosok Sherlock Holmes sering digambarkan dengan kaca pembesar di tangannya. Dia sangat peduli dengan detai-detail yang orang lain tidak memperhatikannya. Tidak puas dengan itu semua, dia juga terkadang harus merekayasa suatu jebakan canggih dan membuat tersangka terperangkap. Sebagai tambahan di masa mudanya Sherlock Holmes pernah mengambil mata kuliah kedokteran, selama kuliah dia kerap kali melakukan berbagai eksperimen.
Hercule Poirot. Seorang perfeksionis, segala sesuatu di sekelilingnya termasuk pakaian harus teratur. Dia akan sangat terganggu jika melihat ada lukisan yang terpasang miring di dinding atau letak barang-barang yang tidak simetris. Semua harus serba rapi, tidak ada penyimpangan kecil bisa terlewatkan oleh mata Mr. Poirot. Itulah kunci kesuksesannya. Dia bisa menemukan kejanggalan dari keterangan pelaku walaupun sangat tersamar padahal detektif lainnya tidak menemukan apa-apa. Satu hal yang membedakan dengan Sherlock Holmes, Hercule Poirot bukanlah anjing pelacak yang mengendus-endus jalanan untuk mencari jejak. Dia lebih senang duduk di kursi santai sambil menghisap tembakau untuk mengaktifkan sel abu-abu yang ada di otaknya. Dia yakin kunci kecerdasan manusia ada pada sel abu-abu di otak. Sedang yang menjadi alat utama dalam pengungkapan suatu kasus adalah psikologi, Hercule sangat terampil untuk membedakan orang yang berbakat menjadi pembunuh dan yang tidak.


Sekarang kita mempunyai dua contoh cara berpikir atau cara menyelesaikan masalah. Setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing. Begitu pula dalam hal berpikir dan berproses. Namun terus terang saya meragukan keefektivan dari metode Hercule Poirot bagi orang biasa atau orang kebanyakan. Barangkali memang ada orang dengan kecerdasan luar biasa seperti Hercule Poirot sehingga dia bisa menjawab semua persoalan di kursi malasnya sambil menghisap cerutu. Akan tetapi ternyata proses berpikir tidak hanya duduk santai sambil merenung, kita harus bergerak aktif dan melakukan eksperimen untuk membuktikan atau menjawab suatu hal. Tangan kita harus aktif menulis dan mencorat-coret. Kaki kita harus selalu digerakkan menuju tempat yang menjanjikan suatu jawaban. Persoalan tidak akan selesai hanya dengan dilihat dan direnungkan.


Memang tidak tepat jika menyimpulkan Hercule Poirot menyelesaikan setiap perkara dengan mudah hanya dari kursi malasnya. Namun dia sangat menekankan proses duduk di kursi malas berjam-jam sambil merekonstruksi kejadian dalam pikirannya. Jika saya meniru cara demikian barangkali saya tidak akan berpikir lama karena ketiduran. Akan lebih menarik jika saya mengambil beberapa carik kertas kemudian membuat sketsa-sketsa, tabel-tabel perbandingan, atau catatan lainnya. Kemudian jika tidak cukup segera bergerak menuju lokasi yang berhubungan terus bla bla bla....asal tidak hanya duduk merenung.


Ada stereotif menyesatkan tentang orang pintar. Mereka digambarkan dengan kacamata bergagang hitam dan tebal, berbadan ringkih, tidak attraktif, secara sosial terisolir, tidak banyak bergerak, dan tidak memiliki rasa percaya diri. Banyak film jaman dulu harus bertanggung jawab akan fitnah semacam ini. Pada kenyataannya untuk menjadi pintar diperlukan fisik yang sehat dan gizi yang cukup. Bahkan semakin banyak bergerak seseorang maka otaknya pun akan semakin encer, meminjam istilah Hercule Poirot, sel abu-abu akan semakin aktif.


Sebagai penutup, barangkali ketika mulai menyelesaikan suatu persolan kita merasa bingung bagaimana harus mengawalinya. Tetapi hanya dengan berdiam diri tidak akan membawa perbaikan. Tindakan awal yang keliru, bagaimanapun sakitnya, akhirnya akan mengantarkan kita kepada suatu jawaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar